Minggu, 02 Januari 2011

makalah tentang partai politik

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak selaku dosen pengasuh mata kuliah Pengantar Ilmu Pemerintahan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul ” PARTAI POLITIK”.
Penulis berharap kepada pembaca agar bisa menyampaikan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi kesempurnaan yang lebih baik untuk makalah ini.
Akhir kata penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan makalah ini.



Pekanbaru,Mei 2010


Penulis






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………… ii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………... 1
1.2 Perumusan Masalah ……….…………………………..……………………………….. 1
1.3 Tujuan dan Kegunaan …………………………………………………………………... 2
1.4 Tinjauan Pustaka ………………………………………………………………………… 2
BAB II. PEMBAHASAN……………………………………………………………...
2.1 Fungsi Partai Politik………….……………………………………………... 4
2.1.1 Fungsi di Negara Demokrasi ………………………………………….. 4
A. Sebagai Sarana Komunikasi Politik……………………………….. 4
B. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik …………………………………. 6
C. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik ………………………………….. 7
D. Sebagai Sarana Pengatur Konflik …………………………………… 8
2.1.2 Fungsi di Negara Otoriter ……………………………………………… 9
2.1.3 Fungsi di Negara-Negara Berkembang …………………………………11
2.2 Tipologi Partai Politik …………………………………………………………...13
2.2.1 Asas dan Orientasi ………………………………………………………13
2.2.2 Komposisi dan Fungsi Anggota ………………………………………....14
2.2.3 Basis Sosial dan Tujuan …………………………………………………15
2.3 Klasifikasi Sistem Kepartaian ……………………………………………….…...17
2.3.1 Sistem Partai-Tunggal ……………………………………………………17
2.3.2 Sistem Dwi-Partai ………………………………………………………18
2.3.3 Sistem Multi Partai ……………………………………………………..19
BAB III. PENUTUP …………………………………………………………………… 23
3.1 Kesimpulan ………..……………………………………………………………………. 23
3.2 Saran …....……………………………………………………………………………... 22
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………….. 24
























BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Partai politik merupakan sarana bagi warga negara untuk turut serta atau berpartisipasi dalam proses pengelolaan negara. Dewasa ini partai politik sudah sangat akrab di lingkungan kita. Sebagai lembaga politik, partai bukan sesuatu yang sendirinya ada. Kelahirannya mempunyai sejarah cukup panjang, meskipun juga belum cukup tua. Bisa dikatakan partai politik merupakn organisasi yang baru dalam kehidupan manusia, jauh lebih muda dibandingkan dengan organisasi negara. Dan ia baru ada di negara modren.
Sebagai subyek penelitian ilmiah, partai politik tergolong relatif muda. Baru pada awal abad ke-20 studi mengenai masalah ini dimula. Sarjana-sarjana yang berjasa mempelopori antara lain adalah M. Ostrogorsky(1902), Robert Michels(1911), Maurice Duverger(1951), dan sigmound Neumann(1956). Setelah itu, beberapa sarjana behavioralis, seperti Joseph Lapalombara dan Mayron Weiner, secara khusus meneropong masalah partai dalam hubungan nya dengan pembangunan politik. Dari hasil sarjana-sarjana ini nampak adanya usaha serius kearah penyusunan suatu teori yang kompherensip (menyeluruh) mengenai partai politik. Akan tetapi, sampai pada waktu itu, hasil yang dicapai masih jauh dari sempurna, bahkan bisa dikatakan tertinggal, bila dibandingka dengan penelitian penelitian bidang lain di dalam ilmu politik.

1.2 Perumusan Masalah

Suatu hal yang cukup urgen untuk ditanyakan Apa saja fungsi partai politik dalam suatu Negara, tipologi dan klasifikasi parpol ?



1.3 Tujuan Kegunaan

1. Makalah ini diharapkan bisa mengembangkan kajian studi Ilmu Pemerintahan khususnya berkaitan mengenai partai politik
2. Diharapkan makalah ini dapat memberikan suatu pelajaran yang berguna mengenai realita partai politi

1.4 Tinjauan Pustaka

Menurut Carl J. Friedrich partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan berdasarkan penguasaan ini,memberikan kepada anggota paartainya kemanfaatan yang bersifat idiil serta materiil (A political, party is a groupof human being,stably organized with the objective of securing or maintaining for its leadersthe control of a government, with the further objective of giving to members of the party,through such control ideal and material benefits and advantages)4.

Menurut Sigmund Neumann partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuassaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan satu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda (A political party is the articulate organization of society’s active political agents;those who are concerned with the control of governmental polity power,and who compete for popular support with other group or groups holding divergent views)5.

Menurut Neumann, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideology social dengan lembaga-lembaga pemerintahan yang resmi.

4Friedrich, Constitutional Government and Democracy, hlm 419.
5Sigmund Neumann.”Modern Political Parties,”dalam Comparative Politics:A Readers,diedit oleh HarryEckstein dan David E. Apter (London: The Free Press Of Glencoe,1963), hlm . 352.
Ahli lain yang juga turut merintis studi tentang kepartaian dan membuat definisinya adalah Giovanni Sartori, yang karyanya juga menjadi klasik serta acuan penting. Menurut Sartori Partai politik adalah suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum itu, mampu menempatkan calon—calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan public ( A party is political group thet present at elections,and is capable of placing through elections candidates for public office).6























6 G Sartori,, Parties and Party Systems, hlm. 63.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Fungsi Partai Politik

Fungsi utama partai politik adalah mencari dan memperrtahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang berdasarkan ideology tertentu. Ada pandangan yang berbeda secara mendasar mengenai partai politik di Negara yang demokratis dan di negara yang otoriter. Perbedaan pandangan tersebut berimplikasi pada pelaksanan tugas atau fungsi partai di masing-masing Negara. Di Negara demokrasi partai relative dapat menjalankan fungsinya sesuai dengan harkatnya pada saat kelahirannya, yakni menjadi wahana bagi warga Negara untuk berpartisipasi dalam mengelolah kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasa. Sebaliknya di Negara otoriter, partai tidak dapat menunjukkan harkatnya, tetepi lebih bahwa menjalankan kehendak penguasa.
Berikut ini diuraikan secara lebih lengkap fungsi partai politik di Negara-negara demokratis, otoriter, dan Negara-negara berkembang yang berada dalam transisi ke arah dekokrasi. Penjelasan fungsi partai polituk di Negara otoriter akan di paparkan dalam contoh partai-partai Negara-negara komunis pada masa jayanya

2.1.1 Fungsi di Negara Demokrasi

A. Sebagai Sarana Komunikasi Politik
Di masyarakat modern yang luas dan kompeks, banyak ragam pendapat dan aspirasi yang berkembang. Pandapat atau aspirasi seseorang atau suatu kelompok yang hilang tak berbekas seperti suara di padang pasir, apabila tidak ditampung dan di gabung dengan pendapat atau aspirasi orang lain yang senada. Proses ini dinamakan penggabungan kepentingan (interest aggregation). Sesudah digabungkan, pendapat dan aspirasi tadi di olah dan dirumuskan dalam bentuk yang lebih teratur. Proses ini dinamakan perumusan kepentingan (interest articulation).
Seandainya tidak ada yang mengagregasi dan mengartikulasi, niscaya pendapat atau aspirasi tersebut akan simpang siur dan saling berbenturan, sedangkan dengan agregasi dan artikulasi kepentingan kesimpang siuran dan benturan dikurangi. Agregasi dan artikulasi itulah salah satu fungsi komunikasi partai politik.
Setelah itu partai politik merumuskannya menjadi usul kebijakann. Usul kebijakan ini dimasukkan ke dalam progam atau platform partai (goal formulation) untuk diperjuangkan atau di sampaikan melalui parlemen kepada pemerintah agar dijadikan kebijakan umum (public policy). Demikianlah tuntutan dan kepentingan masyarakat disampaikan kepada pemerintah melalui partai politik.
Di sisi lain, partai politik juga berfungsi memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian terjadi arus informasi dan dialog dua arah, dari atas ke bawah dan dari bawah keatas. Dalam pada itu partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah. Peran partai sebagai jembatan sangat penting, karena I satu pihak kebijakan pemerintah perlu dijelaskan kepada semua kelompok masyarakat, dan di pihak lain pemerintah harus tanggap terhadap tuntutan masyarakat.
Dalam menjalankan fungsi inilah partai politik sering disebut sebagai pesantara (broker) dalam suatu bursa ide-ide (clearing house of ideas). Kadang-kadang juga dikatakan bahwa partai politik bagi pemerintah bertindak sebagai alat pendengar, sedangkan bagi warga masyarakat sebagai “pengeras suara”.
Menurut Sigmund Neumann dalam hubungannya dengan komunikasi politik, partai politik merupakan perantara yang besar yang menghubungkan kekuatan-kekuatan dan ideology sosial dengan lembaga pemerintah yang resmi dan yang mengaitkannya dengan aksi politik di dalam masyarakat politik yang lebih luas. 1
Akan tetapi sering terdapat gejala bahwa pelaksanaan fungsi komunikasi ini, sengaja atau tidak sengaja, menghasilkan informasi yang berat sebelah dan malahan meimbulkan kegelisahan dan keresahan dalam masyarakat. Misinformasi semacam itu menghambat berkembangnya kehidupan politik yang sehat.


1 Sigmund Neumann “Modern Political Parties,” hlm. 352.
B. Sebagai Sarana Sosialisasi Politik
Dalam ilmu politik diartikan sebagai suatu proses yang melaluinya seseorang memperoleh sikap dan orientasi tehadap fenomena politik yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada. Ia adalah bagian dai proses yang menentukan sikap politik seseorang, misalnya mengenai nasionalisme, kelas sosial, suku bangsa, ideology, hak dan kewajiban.
Dimensi lain dari sosialisasi politik adalah sebagai proses yang melaluinya masyarakat menyampaikan “budaya politik” yaitu norma-norma dan nilai-nilai, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian sosialisasi politik merupakan factor yang penting dalam terbentuknya budaya pilitik (political culture) suatu bangsa.

Suatu definisi yang dirumuskan oleh seorang ahli sosiologi politik M. Rush (1992) :

Sosialisasi politik adalah proses yang melaluinya orang dalam masyarakat tertentu belajar mengenali system politiknya. Proses ini sedikit banyak menentukan persepsi dan reaksi mereka terhadap fenomena politik (political socialization may be depined is the prosess by which individuals in a given society become acquainted with the political system and which to a certain degree determines their perceptions and their reactions to political phenomena). 2

Proses sosialisasi berjalan seumur hidup, terutama dalam masa kanak-kanak. Ia berkembang melalui keluarga, sekolah, peer group, tempat kerja, pengalaman sebagai orang dewasa, organisasi keagamaan, dan partai politik, ia juga menjadi penghubung yang mensosialisasikan nilai-nilai politik generasi yang satu ke generasi yang lain. Di sinilah letaknya partai dalam memainkan peran sebagai sarana sosialisasi politik.pelaksanaan fungsi sosialisasinya dilakukan melalui berbagai cara yaitu media massa, ceramah-ceramah, penerangan, kursus karder, penataran dan sebagainya.

2 M.Rush,Politics and Society: An Introduction to Political Sociology(Hemel Hempstead: Harvest Wheatsheap,1992),hlm. 92.
Sisi lain dari fungsi sosialisasi politik partai adalah upaya menciptakan citra (image) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum. Ini penting jika dikaitkan dengan tujuan partai untuk menguasai pemerintahan melalui kemenangan dalam pemilihan umum. Karena itu partai harus memperoleh dukungan seluas mungkin, dan partai berkepentingan agar para pendukungnya mempunyai solidaritas yang kuat dengan partainya.
Ada lagi yang lebih tinggi nilainya apabila partai politik dapat menjalankan fungsi sosialisasi yang satu ini, yakni mendidik anggota-anggitanya menjadi manusia yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai warga Negara dan menepatkan kepentingan sendiri di bawah kepentingan nasional. Secara khusus perlu disebutkan di sini bahwa di Negara-negara yang baru merdeka, partai-partai politik juga di tuntut berperan memupuk identitas nasional dan integrasi nasional. Ini adalah tugas lain dalam kaitannya dengan sosialisasi politik.
Namun, tidak dapat disangkal adakalanya partai mengutamakan kepentingan partai atas kepentingan nasional. Loyalitas yang diajarkan adalah loyalitas kepada partai, yang melebihi loyalitas kepada Negara. Dengan demikian ia mendidik pengikut-pengikutnya untuk melihat dirinya dalam konteks yang sangat sempit. Pandangan ini malahan dapat mengakibatkan pengotakan dan tidak membantu proses integrasi, yang bagi Negara-negara berkembang menjadi begitu penting.

C. Sebagai Sarana Rekrutmen Politik
fungsi ini berkaitan erat dengan masalah seleksi kepemimpinan, baik kepemimpinan internal partai maupun kepemimpinan nasional yang lebih luas. Untuk kepentingan internalnya, setiap partai butuh kader-kader yang berkualitas, karena hanya dengan kader yang demikian ia dapat menjadi partai yang mempunyai kesempatan lebih besar untuk mengembangkan diri. Dengan mempunyai kader-kader yang baik, partai tidak akan sulit menentukan pimpinannya sendiri dan mempunyai peluang untuk mengajukan calon untuk masuk ke bursa kepemimpinan nasional.
Selain untuk tingkatan seperti itu partai politik juga berkepentingan memperluas atau memperbanyak keanggotaan. Maka ia pun berusaha menarik sebanyak-banyaknya orang untuk menjadi anggotanya. Dengan didirikannya organisasi-organisasi massa (sebagai onderbouw) yang melibatkan golongan-golongan buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita dan sebagainya, kesempatan untuk berpartisipasi diperluas. Rekrutmen politik menjamin kontinuitas dan kelestarian partai, sekaligus merupakan salah satu cara untuk menjaring dan melatih calon-calon pemimpin. Ada berbagai cara untuk melakukan rekrutmen politik yaitu melalui kontrak pribadi, persuasi, ataupun cara-cara lain.

D. Sebagai Sarana Pengatur Konflik (Conflict Management)
Potensi konflik selalu ada di setiap masyarakat, apalagi di masyarakat yang bersifat heterogen, apakah dari segi etnis (suku bangsa), social-ekonomi, ataupun agama. Setiap perbedaan tersebut menyimpan potensi konflik. Apabila keanekaragaman itu terjadi di Negara yang menganut paham demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat dianggap hal yang wajar dan mendapat tempat. Akan tetapi di dalam Negara yang heterogen sifatnya, potensi pertentangan lebih besar dan dengan mudah mengundang konflik.
Disini paran partai diperlukan untuk membantu mengatasinya, atau sekurang-kurangnya dapat diatur sedemikian rupa sehingga akibat negatifnya dapat ditekan seminimal mungkin. Elite partai dapat menumbuhkan pengertian di antara mereka dan bersamaan dengan itu juga meyakinkan pendukungnya.
Pada tataran yang lain dapat dilihat pendapat dari ahli yang lain, Arend Lijphart (1968). Menurut Lijphart: Perbedaan-perbedaan atau perpecahan ditingkat massa bawah dapat diatasi oleh kerja sama diatara elite-elite politik. (Segmented or subcultural cleavegas at the mass level could be overcome by elite cooperation). 3 Dalam konteks kepartaian, para pemimpin partai adalah elite politik.






3 Arend Lijphart, Electoral Systems and Party Systems, ed. Ke-2 (Oxpord University Press,1995)
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa partai politik dapat ,menjadi penghubung psikologis dan organisasional antara warga Negara dengan pemerintahannya. Selain itu partai juga melakukan konsolidasi dan srtikulasi tuntutan-tuntutan yang beragam yang berkembang di berbagai kelompok masyarakat. Partai juga merekrut orang-orang untuk diikutsertakan dalam kontes pemilihan wakil-wakil rakyat dan menemukan orang-orang yang cakap untuk menduduki posisi-posisi ekskutif. Pelaksanaan fungsi-fungsi ini dapat dijadikan instrument untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan partai politik dinegara demokrasi.
Di pihak lain dapat dilihat bahwa sering kali partai melahan mempertajam pertentangan yang ada. Dan jika hal ini terjadi dalam suatu masarakat yang redah kadar consensus nasionalnya, peran semacan ini dapat membahayakan stabuilitas politik.

2.1.2 Fungsi di Negara Otoriter
Hal-hal yang dijelaskan dibagian terdaluhu adalah fungsi-fungsi partai menurut pandangan yang berkembang dinegara yang menganut paham demokrasi. Kini, marilah kita lihat bagaimana paham Negara otoriter, misanya bagaimana komunisme di Uni Soviet memandang paham politik. Pada kenyataanya pandangan tersebut memang berbeda. Contoh lain Negara yang otoriter adalah China dan Kuba. Tetapi disini hanya dibahas komunisme di Uni Soviet masa lampau.
Menurut paham komunis, sifat dan tujuan partai politik bergantung pada situasi apakah parati komunis berkuasa di Negara di mana partai komunis tidak berkuasa, partai-partai politik lain dianggap sebagai mewakili kepentingan kelas tertentu yang tidak dapat bekerja untuk kepentingan umum. Dalam situasi seperti itu, partai komunis akan mempergunakan setiap kesempatan dan fasilitas yang tersedia (seperti yang banyak terdapat di Negara-negara demokrasi) untuk untuk mencari dukungan seluas-luasnya. Partai ini menjadi paling efektif di Negara yang pemerintahannya lemah dan yang rakyatnya kurang bersatu.4

4Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, Government and Politics in the Twentieth Century (New York:Friederick A. Praeger,1965),hlm. 111
Akibat karakter nya yang demikian, partai komunis sering dicurigai dan dibeberapa Negara bahkan dilarang. Akan tetapi tindakan semacam itu juga ada bahayanya. Sebab dalam keadaan seperti itu partai akan bergerak di bawah tanah, sehingga justru sukar diawasi. Apabila tidak menemukan jalan untuk merebut kekasaan, partai akan mencoba mencapai tujuannya melalui kerja sama dengan partai-partai lain dengan mendirikan Front Rakyat atau Front Nasional (popular front tactics).
Berbeda halnya apabila partai komunis berkuasa. Disini partai komunis mempunyai kedudukan monopolistis, dan kebebasan bersaing ditiadakan. Dapat saja ia menentukan dirinya sebagai partai tunggal atau sekurang-kurangnya sebagai partai yang paling dominan, seperti yang terjadi di Uni Soviet, China, dan Negara-negara komunis Eropa Timur.
Tujuan partai komunis adalah membawa masyarakat ke arah terciptanya masyarakat yang modern dengan ideology komunis, dan partai berfungsi sebagai “pelopor revolusioner” untuk mencapai tujuan itu. Partai Komunis Uni Soviet yang berkuasa dari tahun 1917 sampai 1991 merupakan partai seperti itu.
Partai komunis memengaruhi semua aspek kehidupan masyarakat melalui konsep jabatan rangkap. Begitu pula halnya dengan pemimpin semua badan kenegaraan seperti bdan ekskutif dan badan yudikatif. Sekretaris Partai Komunis lebih berkuasa dari presiden (ketua presidium). Maka dari itu Uni Soviet sering dinamakan Negara totaliter.
Fungsi sebagai sarana sosialisasi politik lebih ditekankan pada aspek pembinaan warga Negara kea rah kehidupan dan cara berpikir yang sesuai dengan pola yang ditentukan oleh partai. Dinegara-negara demokrasi partai berperan untuk menyelenggarakan integrasi warga Negara kedalam masyarakat umum.
Partai juga berfungsi sebagai sarana rekrutan politik.calon anggota harus menjalani masa percobaan di mana ia harus memenuhi standart-standart ketat mengenai pangabdian dan kelakuan. Yang ditetapkan oleh partai komunis. Akan tetapi karena iklim politik tidak kompetitif maka pemilihan umum tidak merupakan sarana untuk memilih pemimpin Negara. Razim ini dapat dikategorikan sebagai :”Sosialisme negara dimana control politik ada di tangan partai komunis yang bersifat monopolistic dan hierakis, dan di mana ekonomi

diatur atas dasar kolektivitas dan perencanaan ekonomi terpusat dari Negara”. 5
Pada akhir decade 80-an terjadi pergolakan melawan rezim represif, yang berakhir dengan budayanya Uni Soviet pada tahun 1991 dengan terbetuknya Commonwealth of Independent States.
Dari uraian tadi dijelaskan kalau dikatakan bahwa fungsi partai politik di Negara komunis berbeda dengan partai dalam Negara yang demokratis. Mengenai perbedaan ini Sigmund Neumann menjelaskannya sebagai berikut : jika di Negara demokrasi partai mengatur keinginan dan aspirasi golongan-golongan dalam masyarakat, maka partai komunis berfungsi sebagai pengendali semua aspek kehidupan secara monolitik. Jika dalam masyarakat demokratis partai berusaha menyelenggarakan integrasi warga Negara kedalam masyarakat umum, peran paartai komunis ialah untuk memaksa individu agar menyesuaikan diri dengan suatu cara hidup yang sejalan dengan kepentingan partai (enforcement of conformity). Kedua fungsi ini diselenggaraakan melalui propaganda dari atas kebawah. 6

2.1.3 Fungsi di Negara-negara Berkembang
Dinegara-negara berkembang keadaan politik sangat berbeda satu sama lain. Partai-partai politik umumnya lemah organisasinya dan jarang memiliki dukungan massa yang luas dan kukuh.partai politik berhdapan dengan berbagai masalah seperti kemiskinan, terbatasnya kesempatan kerja, pembagaian pendapatan yang timpang dan tingkat buta huruf yang tinggi.
Di beberapa Negara fungsi yang agak sukar dilaksanakan ialah sebagai jembatan antara “yang memerintah” dan “yang Diperintah”. Sering golongan pertama banyak orang kaya, sedangkan golongan yang “diperintah” banyak mecakup orang miskin.dengan demikian jurang di antara kedua belah pihak sukar dijembatani.masalah seperti ini dapat mengalihkan perhatian, jauh dari usaha mengatasi masalah kemiskinan dan masalah-masalah pembangunan lainnya yang menjadi sasaran utama dalam masyarakat-masyarakat berkembang.


5Heywood, Key Concepts in Politics (New York : Palgrave,200),hlm. 49.
6 Neumann, Modern Political Parties, hlm. 353.
Satu peran yang sangat diharapkan dari partai politik adalah sebagai sarana untuk meperkembangkan integrasi nasional dan memupuk identitas nasional. Akan Tetapi pengalaman dibeberapa negara menunjukkan bahwa partai politik sering tidak mampu membina integrasi, akan tetapi malah menimbulkan pengotaan dan pertentangan yang mengeras.
Karena pengalaman tersebut diatas, banyak kritik telah dilontarkan kepada partai-partai politik, dan bebrapa alternatif telah diikhtiarkan. Salah satu jalan keluar diusahakan dengan jalan meniadakan partai sama sekali. Hal ini telah dilakukan oleh Jendral Ayun Khan dari Pakistan dari tahun 1958; bahkan parlemen dibubarkan. Akan tetapi setelah beberapa waktu partai-partai muncul kembali melalui suatu undang-undang yang diterima oleh parlemen baru, dan Presiden Ayub Khan sendiri menggabungkan diri dengan salah satu partai politik. Pengalaman ini menunjukkan bahwa sekalipun partai politik banyak segi negatifnya, pda dasarnya kehadiran sert perannya dinegara-negara berkembang masih penting dan sukar dicarikan alternatifnya.
Pengalaman lain dibeberapa negara berkembang ialah bahwa jika lembaga-lembaga politik gagal memainkan peran yang diharapkan, akan terjadi campur tangan oleh pihak militer, hal ini sering terjadi jika masa instabilitas berjalan agak lama dan pergolakan politik sangat insentif. Dalam situasi seperti itu golongan militer mungkin merupakan satu-satunya kelompok yang terorganisir dan yang, berkat disiplin dan fasilitas yang dimilikinya, berada dalam kedudukan yang lebih menguntungkan dari pada kelompok lain. Campur tangan dari pihak militer biasanya terjadi dengan dalih untuk menghindarkan kemunduran yang leabih gawat atau timbulnya perang saudara. Sekali kekuasaan diambil alih oleh kaum militer, maka sukar sekali untuk mengembalikan kekuasaan ketangan orang sipil.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa di negara-negara berkembang partai politik, sekalipun memiliki kelemahan, masih tetap dianggap sebagai sarana penting dalam kehidupan pelitiknya. Usaha melibatkan partai politik dan golongan-golongan politik lainnya dalam proses pembangunan dalam segala aspek dan dimensinya, merupakan hal yang amat utama dalam negara yang ingin membangun suatu masyarakat atas dasar pemerataan dan keadilan sosial. Jika partai dan golongan-golongan politik lainya diberi kesempatan untuk berkembang, mungkin ia dapat mencari bentuk partisipasi yang dapat menunjang untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di negara itu. Mungkin bentuk ini dalam banyak hal akan berbeda dengan partai di negara yang sudah mapan, karena disesuaikan dengan keadaan dan kebutuhan dalam negeri. Setidak-tidaknya dinegara yang keabsahan pemerintahnya sedikit banyak diuji oleh berjuta-juta rakyat dalam pemilihan umum berkala, partai-partai politik dan organisasi kekuatan sosial politik lainya menduduki tempat yang krusial.

2.2 Tipologi Partai Politik
Tipologi partai politik adalah pengklasifikasian berbagai partai politik berdasarkan kriteria tertentu, seperti asas dan orientassi, komposisi dan fungsi anggota, basis social dan tujuan. Klasifikasi ini cenderung bersifat tipe ideal karena dalam kenyataan tidak sepenuhnya demikian. Tetapi untuk tujuan memudahkan pemahaman, tipologi ini sangant berguna.Di bawah ini diuraikan sejumlah tipologi partai politik menurut kriteria-kriteria tersebut.

1.2.1. Asas dan Orientasi
Berdasarkan asas dan orientasinya, partai politik diklasifikasikan menjadi 3 tipe. Yaitu:
1. Partai Politik Pragmatis
2. Partai Politik Doktriner
3. Partai Politik Kepentingan.

1. Partai Politik Pragmatis
Yaitu suatu partai yang mempunyai program dan kegiatan yang tak terikat kaku pada satu doktrin dan ideology tertentu. Artinya, perubahan waktu,situasi,dan kepemimpinan akan juga mengubah program,kegiatan,dan penampilan partai politik pragmatis cendrung merupakan cerminan dari program-program yang disusun oleh pemimpin utamanya dan gaya kepemimpinan sang pemimpin. Partai ini biasanya terorganisasikan secara agak longgar. Hal ini tidak berarti partai politik pragmatis tidak memiliki ideology sebagai identitasnya.
Dalam program dan gaya kepemimpinan terdapat beberapa pola umum yang merupakan penjabaran ideology tersebut. Namun, ideology yang dimaksud lebih merupakan sejumlah gagasan umum daripada sejumlah doktrin dan program konkret yang siap dilaksanakan. Partai pragmatis biasanya muncul dalam system 2 partai berkompetetisi yang relative stabil. Partai democrat dan partai Republik Di Amerika Serikat merupakan contoh partai pragmatis.

2. Partai Politik Doktriner
Yaitu suatu partai politikyang memiliki sejumlah program dan kegiatan konkret sebagai penjabaran ideology. Ideology yang dimaksud adalah seperangkat nilai politik yang dirumuskan secara konkret dan sistematis daalam bentuk program-program kegiatan yang pelaaksanaanya diawasi secara ketat oleh aparat partai. Pergantiaan kepemimpinan mengubah gaya kepemimpinan pada tingkat tertentu, tetapi tidak mudah mengubah prinsip dan program dasar partai karena ideology partai sudah dirumuskan secaraa konkret dan partai ini terorganisasikan secaraa ketat. Partai Komunis dimana saja merupakan contoh Partai Doktriner.

3. Partai Politik Kepentingan.
Yaitu partai politik yang dibentuk dan dikelola atas dasar kepentingan tertentu, seperti petani,buruh,etnis,agama,atau lingkungan hidup yang secaara langsung ingin berpartisipasi dalam pemerintahan. Partai ini sering ditemui dalam system baanyak partai tetapi kadangkala terdapat pula dalam system dua partai berkompetensi namun tak mampu mengakomodasikan sejumlah kepentingan dalam masyarakat. Misalnya, Partai Hijau di Jerman, Partai Buruh di Australia, dan Partai Petani Di Swiss.

2.2.2 Komposisi dan Fungsi Anggota
Menurut komposisi dan fungsi anggotanya, partai politik dapat digolongkan menjadi dua. Yaitu :
1. Partai Massa atau Lindungan
2. Partai Kader


1. Partai Massa atau Lindungan
Partai politik yang mengandalkan kekuatan pada keunggulan jumlah anggota dengan cara memobilisasi massa sebanyak-banyaknya, dan mengembangkan diri sebagai pelindung bagi berbagai kelompok dalam masyarakat sehingga pemilihan umum dapat dengan mudah dimenangkan, dan kesatuan nasional dapat dipelihara, tetapi juga masyarakat dapat dimobilisasi untuk mendukung dan melaksanakan kebijakan tertentu. Partai ini sering kali merupakan gabungaan berbagai aliran politik yang sepakat untuk berada dalam lindungan paartai guna memperjuankan dan melaksanaakan program-program yang pada umunya bersifat sangat umum.
Kelemahan partai ini tampak pada saat pembagian kursi (jabatan) dan perumusan kebijakan karena karakter dan kepentingan setiap kelompok dan aliran akan sangat menonjol. Ketidak mampuan partai dalam membuat keputusan yang dapat diterima semua pihak merupakan ancaman bagi keutuhan partai. Partai ini umumnya terdapat dalam Negara-negaara berkembang yang menghadapi permasalahan intergrasi nasional. Partai Barisan Nasional di Malaysia, yang merupakan koalisi anatara Kelompok Melayu , Cina, dan India merupakan salah satu contoh partai massa.

2. Partai Kader
Partai yang mengandalkan kualitas anggota, ketaatan organisasi, dan disiplin anggota sebagai sumber kekuatan utama. Seleksi keanggotaan dalam partai kader biasanya sangat ketat, yaitu melalui kaderisasi yang berjenjang dan intensif, serta penegakkan disiplin partai yang tanpa pandang bulu. Struktur organisasi partai ini sangat hirarkis sehingga jalur perintah dan tanggung jawab sangat jelas. Karena sifatnya yang demikian partai kader acapkali disebut sebagai partai yang sangat elitis. Contoh partai kader ini terdapat pada Nazi di Jerman dan partai komunis dimanapun.

2.2.3. Basis Sosial dan Tujuan
Almond menggolongkan partai politik berdasarkan basis social dan tujuannya. 7
Menurut basis sosialnya, partai politik dibagi menjadi 4 tipe. Yaitu:

7Gabriel Almond,,Kelompok Kepentingaan dan Partai Politik. hlm. 58-60.
1. Partai politik yang beranggotakan lapisan-lapisan social dalam masyarakat, seperti kelas atas, menengah, dan bawah.
2. Partai politik yang anggotanya berasal dari kalangan kelompok kepentingan tertentu, seperti petani,buruh dan pengusaha.
3. Partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari pemeluk agama tertentu, seperti islam,katolik,protestan dan hindu.
4. Partai politik yang anggota-anggotanya berasal dari kelompok budaya tertentu,seperti suku bangsa ,bahasa dan daerah tertentu.

Dalam kenyataanya kebanyakan partai politik tak hanya mempunyai basis social dari kalangan tertentu, tetapi juga dari berbagai kalangan dengan satu atau dua kelompok sebagai pihak yang dominan. Pendukung npartai democrat di Amerika Serikat pada umumnya berasal dari kalangan menengah dan bawah,berkulit hitam dan Katolik. Hal ini tidak berarti pendukung partai ini tidak ada yang berasal dari kalangan atas, kulit putih dan Protestan.
Berdasarkan tujuan, partai politik dibagi menjadi tiga. Yaitu :
1. Partai Perwakilan Kelompok
Partai yang menghimpun berbagai kelompok masyarakat untuk memenangkan sebanyak mungkin kursi dalam parlemen seperti Barisan Nasional di Malaysia.
2. Partai Pembinaan Bangsa
Partai yang betujuan menciptakan kesatuan nasional dan biasanya menindas kepentingan-kepentingan sempit seperti Partai Aksi Rakyat di Singapura.
3. Partai Mobilisasi.
Partai yang berupaya memobilisasi masyarakat kearah tujuan-tujuan yang ditetapkan oleh pemimpin partai, sedangkan partisipasi dan perwakilan kelompok cenderung diabaikan. Partai ini cenderung bersifat monopolistis karena hanya ada satu partai dalam masyarakat. Partai komunis di Negara-negara komunis merupakan contoh partai mobilisasi.



2.3 Klasifikasi Sistem Kepartaian
Diatas telah dibahas bermacam-macam jenis partai. Akan tetapi beberapa sarjana menganggap perlu dianalis ini ditambah dengan meneliti prilaku partai-partai sebagai bagian dari suatu sistem , yaitu bagaimana partai politik berinteraksi datu sama lain dajn berintrksi dengan unsur-unsur lain dari sistem itu. Analisis semacam ini dinamakan “sistem kepartaian” pertama sekali dibentangkan oleh Maurice Duverger dalam bukunya Portilikal Parties. Duverger mengadakan kalasifikasi menurut tiga kategori, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwi-partai, dan sistem multi partai.

2.3.1 Sistem Partai-Tunggal
Pola partai tunggal terdapat dibeberapa negara: Afrika, China, dan Kuba, sedangkan dalam masa jayanya Uni Soviet dan beberapa negara Eropa Timur termasuk dalam kategori ini. Suasana kepartoaian dinamakan non-kompetitif kearena semua partai harus menerima pimpinan dari partai yang dominan dan ridakd dibenarkan bersaing dengannya. Terutama dinegara-negara yang baru lepas dari kolonialisme kecenderungan kuat untuk memakai pola sistem partai-tunggal pimpinan diharapkan dengan masalah bagaimana mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, serta suku bangsa yang berbeda corak sosial serta pandangan hidupnya. Fungsi partai adalah menyakinkan atau memaksa masyarakat untuk menerima persepsipimpinan parti mengenai kebutuhan utama dari masyarakat seluruhnya. Dewasa ini banyak negara afrika pindah kesistem multi partai.
Negara yang paling berhasi dalam menyingkirkan partai lain ialah Uni Soiet pada masa jayanya. Partai Uni Soviet bekerja dalam suasan yang non-kompetitif, tidak ada partai lain yang diperbolehkan bersaing, oposisi dianggap sebagai penghianatan. Partai-tunggal serta organisasi yang bernung dibawahnya berfungsi sebagai pembimbing dan penggerak masyarakat dan menekankan perpandauan dari kepentigan partai kepentingan rakyat secara menyeluruh.
Di indonesia pada tahun 1945 ada usaha mendirikan partai tunggal sesuai dengan pemikiran yang ada pada saat itu banyak dianut dinegara-negara yang baru melepaskan diri dari rezim kolonial. Diharapkan partai itu akan menjadi ”motor perjuangan”. Akan tetapi sesudah beberapa bulan usaha itu dihentikan sebelum terbentuk secara konkret. Penolakan ini antara lain disebabkan karena dianggap berbau fasis.
2.3.2 Sistem Dwi-Partai
Dalam kepustkaan ilmu politik pengertian sistem dwi-partai biaasanya diartikan bahwa ada dua partai, yang berhasil memenangkan dua tempat teratas dalam pemilihan umum secara bergiliran, dan dengan demikian mempunyai kedudukan dominan. Dalam sistem ini partai-partai dengan jelas dibagi dalam partai yang berkuasa (karena menanh dalam pemilihan umum) dan partai oposisi ( karena kalah dalam pemilihan umum).dengan demikian dengan jelas dimana letak tanggung jawab kmengenai pelaksanaan kebijakan umum. Daplam sistem ini partai yang kalah berperan sebagai pengancam utama tapi yang setia (loyal opposition) terhadap kebjakan partai yang duduk dalam pemerintahan, dengan pengertian bahwa peran ini sewaktu-waktu dapat bertukar tangan. Dalam persaingan memenangkan pemilihan umum kedua partai berusaha untuk merebut dukunygan orang-orang yang ada ditengah kedua partai dan sering dinamakan pemilihan terapung (floating vote) atau pemilih ditengah (median vote).
Sistem dwi-partai pernah disebut a konvenient system for contented people dan memang kenyatanya ialah bahwa sistem dwi-partai dapat berjalan baik apabila terpenuhi tiga dsyarat, yaitu komposisi masyarakat bersifat homogen (sosial homogenity), adanya konsensus kuat dalam masyarakat mekngenai asas dan tujuan sosial dan politik (political consensus), dan adanya kontinuitas sejarah (historial continuity).8
Inggris biasanya digambarkan sebagai contoh yang paling ideal dalam menjalankan sistem dwi-partai ini. Partai buruh dan partai konservatif dikatakan tidak mempunyai pandangan yang banyak berbeda mengenai asas dan tujuan politik, dan perubahan pimpinan umumnya tidak terlalu mengganggu kotinunitas kebijakan pemerintah. Perbedaan yang pokok antara kedua partai hanya berkisar pada cara dan kecepatan melaksanakan berbagai program pembaharuan yang menyangkut masalah sosial, perdagangan, dan industri. Partai buruh lebih condong agar pemerintah melaksanakan pengendalian dan pengawasan terutama dibidang ekonomi, sedangkan partai konservatif cendrung memilih cara-cara kebebasan berusaha.



8Peter G.J. Pulzer, Political Representation and Elections in Britain (London: George Allen and Unwin Ltd,1967),hlm. 41.
Disamping kedua partai ini, ada beberapa partai kecil lainnya, diantaranya partai liberal demokrat. Pengaruh partai ini biasanya terbatas, tetapi kedudukanya berubah menjadi sangat krusial pada saat perbedaan dalam perolehan suara dari kedua partai besar dalam pemilihan umum sangat kecil. Dalam situaasi seperti ini partai pemenang terpaksa membentuk koalisidengan partai leberal demokrat atau partai kecil lainnya.
Pada umumnya dianggap bahwa sistem dwi-partai lebih konduktif untuk terpeliharanya stabilitas karena ada perbedaan yang jelas antara partai pemerintah dan partai oposisi. Akan tetapi perlu juga diperhatikan peringatan ilmu sarjana ilmu politik Robert Dahl bahwa dalam masyarakat yag terpolarisasi sistem dwi-partai malahan dapat mempertajam perbedaan pandangan antara kedua belah pihak, karena tidak ada kelompok ditengah-tengah yang dapat meredakan suasana konflik.9
Sistem dwi-partai umumnya diperkuat dengan dipergunakan sistem pemilihan single-member counstituency (Sistem Distrik) dimana dalam setiap daerah pemilihan hanya dapat dipilih satu saja.sistem pemilihan ini cendrung menghambat pertumbuhan partai kecil, sehingga dengan demikian memperkokoh sistem dwi-partai.10
Di Indonesia pada tahun 1968 ada dusaha untuk mengganti sistem multi-partai yang telah berjalan lama dengan sistem dwi-partai, agar sistem ini dapat membatasi pengaruh partai-partai yang talah lama mendominasi kehidupan politik. Beberapa asas dirasakan menghilagi beban eksekutif untuk menyeleggarakan pemerintahan yang baik. Akan tetapi eksperimen dwi-partai ini, sudah diperkenalkan dibeberapa wilayah, ternyata mendapat tantangan dari partai-partai yang merasa terancam eksistensinya. Akhirnya gerakan ini dihentiakan pada tahun 1969.

2.3.3 Sistem Multi-Partai
Umumnya dianggap bahwa keaneragaman budaya politik suatu masyarakat mendorong pilihan kearah sistem multi-partai. Perbedaan tajam antara ras, agama, atau suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat lebih cendrung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya (primoedial) dalam suatu wadah yang sempit saja. Dianggap bahwa pola

9Robert A.Dahl, Political Oppositions in Western Democracy (New Heaven,Connecticut: Yale University Perss 1966) hlm. 394.
10 Duverger,Political Parties, hlm. 217
multi-partai lebih sesuai dengan pluralitas budaya dan politik dari pada pola dwi-partai. Sistem multi-partai ditemukan antara lain di IndodesiaMalaysia, Nederland, Australia, Prancis, Swedia, dan Federasi Rusia. Prancis mempunyai jumlah partai yang berkisar 17 dan 28, sedangkan di Federasi Rusia sesudah jatuhnya partai komunis jumlah partai mencapai 43.
Sistem multi-partai, apalagi jika dihubuingkan dengan sistem pemerintahan parlementer, mempunyai kecendrungan untuk menitikberatkan kekuasan pada badan legislatif, sehingga peran badan eksekutif sering lemah dan ragu-ragu. Hal ini sering didebabkan karena tidakd ada satu partai yang cukup kuat untuk membentuk suatu pemerintahan sendiri, sehingga terpaksa membentuk koalisi dengan partai-partai lain. Dalam keadaan semacam ini partai yang berkoalisi harus selalu mengadakan musyrawarah dan kompromi dengan mitranya dan menghadapi kemungkinan bahwa sewaktu-waktu dukungan dari partai yang duduk dalam koalisi akan ditarik kembali, sehingga mayoritasnya dalam parlemen hilang.
Di lain pihak, partai-partai oposisi kurang memainkan peranan yang jelas karena sewaktu-waktu masing-masing partai dapat diajak duduk dalam pemerintahan koalisi baru. Hal semacam ini menyebabkan sering terjadinya siasat yang berubah-ubah menurut kegentingan situasi yang dihadapi partai masing-masing. Lagi pula, sering kali partai-partai oposisi kurang mampu menyusun suatu program alternatif bagi pemerintah. Dalam sistem semacam ini masalah letak tanggung jawab menjadi kurang jelas.
Dalam situasi dimana terdapat satu partai yang dominan, stabilitas politik dapat lebih dijamin. India dimasa lampau sering dikemukakan sebagai negara yang didomonasi satu partai (one-perty dominance), tetapi karena suasana kompetitif, pola dominasi setiap waktu dapat berubah. Hal ini dapat dilihat pada pasang surutnya kedudukan partai kongres. Partai ini mulai dari zaman kemerdekaan menguasai kehidupan politik india. Jiumlah wakilnya dalam dewan perwakilan rakyat pada saat itu melebihi jumlah total wakit partai-partai lainnya, dan karena itu sering disebut sistem satu setengah partai (one andhalf party system). Sedangkan partai kongres mengelami kemunduran sesudah pemiliahan umum tahun 1967, namun ia berhasil memerintah india pada tahun 1977. pada tahun 1978 sampi 1980 partai kongres mengadakan koalisi dengan Bharatya Janata Party.
Akan tetapi hal ini berarti bahwa pemerintah kolisi selalu lemah. Belanda, Norwegia, dan Swedia merupakan contoh dari pemerintah yang dapat mempertahankan stabilitas dan kontinunitas dalam kebijak publiknya.
Pola multi-partai umumnya diperkuat oleh sistem pemilihan pemerintahan berimbang (proportional Representational) yang memberi kesempatan luas bagi petumbuhan partai-partai dan golongan-golongan baru.11 Melalui sistem perwakilan berimbang partai-partai kecil dapat menarik keuntungan dari ketentuan bahwa kelebihan suara yang diperolehnya suatu daerah pemilihan dapat ditarik kedaerah pemilihan lain untuk mengenapkan jumlah suara yag diperlukan guna memenagkan stu kursi.
Indonesia mempunyai sejarah panjang dengan berbagai jenis sistem multi-partai. Sistem ini telah melalui beberapa tahap dengan bobot kompetitif yang berbeda-beda. Mulai 1989 indonesia berupaya untuk mendirikan suatu sistem multi-partai yang mengambil unsur-unsur positif dari pengalaman masa lalu, sambil menghindari unsur negatifnya.
















11 Ibid. hlm. 245. Lihat juga PJ. Oud, Het Constitutioneel Recht van het koninkrijk der Nederlanden (Zwolle: Tjeenk Willink,1947), Mid I, hlm.248.

BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Secara umum kita dapat mendefinisikan bahwa parai politik adalah suatu kelompok yang teroganisir yang anggota-anggotanya memppunyai sebuah orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah memperoleh sebuah kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik yang biasanya di raih lewat konstitusional untuk melakukan kebijakan-kebijakan dalam mencapai tujuan mereka.
Perlu diterangkan bahwa partai politik sangat berbeda dengan gerakan (movement) dan berbeda juga dengan kelompok penekan (pressur group) atau istilah yang lebih banyak digunakan pada dewasa ini yang memang memperjuangkan suatu kepentingan kelompok, atau memang ingin melakukan perubahan terhadap paradigma masyarakat kearah yang lebih baik.

FUNGSI-FUNGSI PARTAI POLITIK
1. partai sebagai sarana komunikasi politik
2. partai politik sebagai sarana sosialisasi politik
3. partai politik sebagai sarana rekruitmen politik
4. sebagai sarana untuk mengatur konflik (conflict manajemen)
3.2.Saran
Untuk tetap memperbaiki citra partai politik sebagai institusi demokrasi, tentu partai politik lebih maksimal memikirkan nasib masyarakat ketimbang memperebutkan kursi kekuasaan. Sedangkan dalam konteks konflik internal partai politik, meminimalisir mungkin adanya sikap politik yang bisa merusak citra partai politik itu sendiri, tetap membuka adanya ruang bagi kedua pihak yang bertikai untuk melakukan komunikasi politik yang lebih sehat dan lebih konsisten pada aturan main organisasi.
Konflik tentu tidak bisa dihindari, tetapi partai politik juga harus memberikan ruang bagi terbangunnya suatu sistem manajemen konflik yang lebih baik. Agar konflik personal maupun kelompok maupun yang terjadi diluar partai tidak bisa berkembang, mampu kendalikan sehingga tidak melahirkan suasana ketegangan yang apalagi perlaku negatif yang bisa merusak. Manajemen konflik juga penting dalam mengelola masalah tersebut sebelum diselesaikan secara organisasi, atau minimal bisa secara efektif mencegah adanya perpecahan ditubuh partai. Sebagaimana yang dipikirkan oleh Ross (1993) sebagai seorang ahli dalam manajemen konflik, bahwa manajemen konflik berupa penyelesaian konflik dan bisa jadi menghasilkan ketenangan, hal positif, mufakat dan lebih kreatif. Masih ada waktu bagi para pemimpin partai untuk melakukan perubahan di dalam partainya. Kepemimpinan kharismatis haruslah diabdikan untuk kepentingan semua kader, bukan kelompok. Kepemimpinan model itu harus dipadukan dengan manajemen pengelolaan partai yang modern, terbuka dan demokratis, termasuk dalam mengelolah konflik. Hanya dengan menerapkan manajemen modern, partai bisa eksis dan mendapat simpati pendukungnya.






DAFTAR PUSTAKA
Amal, Ichlasul. “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik”.PT Tiara Wacana, Yogyakarta. 1996
Budiarjo,Mariam .“Partisipasi dan Partai Politik”.Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,1998.
.Dasar-Dasar Ilmu Politk. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008.
Surbakti, Ramlan. “Memahami Ilmu Poltik”. Grasindo, Jakarta, 1992.